Aku Kena Korona?


Panik - Pandemik : Antara Hidup & Mati

Sebelumnya aku sudah pernah menulis buku fiksi tentang korona di bulan Juni, bagaimana si tokoh ‘aku’, mahasiswa bugar yang sering kampanye sehat malah terjangkit virus korona. Dan … tulisan itu menjadi kenyataan!

Aku gak tahu ini aku beneran kena korona atau bukan, karena aku belum pernah tes rapid atau swab, tapi melihat gejala korona di situs WHO, hampir semua mirip kecuali sesak napas, ruam pada kulit, dan nyeri dada (setahuku, gejala ini terjadi kalau sudah parah). Terlebih lagi, temanku, yang anak perawat menduga kalau aku ‘kemungkinan’ terkena covid-19. Waktu pertamakali dengar dia bilang begitu, aku kaget, terus ketawa, ya biasa … karena aku yakin aku kuat!  Terlepas aku beneran kena korona atau penyakit lainnya, yang jelas tolong ambil hikmahnya saja, ya!

Memang riwayat hidupku, ini sakit terlama yang pernah aku sandang, meskipun aku terhitung anak yang paling gampang sakit dan lama sembuh. Alhamdulillah-nya aku memang belum pernah masuk ke ruang operasi, dirawat di RS, diinfus, hingga pingsan seperti anak-anak lainnya. Imunku mungkin tidak sekuat mereka, tapi aku selalu tertawa dan bahagia, itu kali ya, yang membuatku survive hingga hari ini hehehe.

Daripada ngomongin aku, yuk cek gejala virus korona versi WHO! Yang aku centang itu yang aku alamin selama > 3 minggu (23 September – 14 Oktober 2020).

Gejala yang umum:

1.      Demam √

2.      Batuk kering √

3.      Kelelahan √

Gejala yang sedikit tidak umum:

1.      Rasa tidak nyaman dan nyeri √

2.      Nyeri tenggorokan √

3.      Diare √

4.      Konjungtivitis (mata merah) √

5.      Sakit kepala √

6.      Hilangnya indera perasa atau penciuman √

7.    Ruam pada kulit, atau perubahan warna pada jari tangan atau jari kaki

Gejala serius:

1.      Kesulitan bernapas atau sesak napas

2.      Nyeri dada atau rasa tertekan pada dada

3.      Hilangnya kemampuan berbicara atau bergerak √

 

Hari pertama hingga ketiga aku hanya bisa tiduran di kasur sepanjang hari (kucingku Momo juga ikut-ikutan, kasihan dia, gak ada yang ngajak main), kalau aku terbangun dan melihat jam di hp, lalu memutuskan untuk tidur lagi, hingga masuk waktu makan dan salat, terus tidur lagi, begitu seterusnya. Aku pun jarang berbicara karena memang tenggorokanku kering (radang) dan harus sering meminum air putih, tapi … air putih saja rasanya pahit, bahkan mengirim voice note saja seperti orang berbisik, kata teman tumben suaraku halus wkwkwk, aku pun susah tersenyum dan tertawa seperti biasanya, aku juga tidak meng-update status wkwkwk saking sakitnya. Kocak banget kalau ingat ini!

Yang jelas pas awal-awal itu tubuh seperti bandeng presto, sakit semua, bahkan berdiri untuk salat saja ngos-ngosan, kalau tidak kuat, salatnya duduk, duduk pun hal yang melelahkan menurutku, kepala sudah kayak orang mabuk, berasa goyang dumang, demam juga melanda dari hari pertama hingga hari ini (14 Oktober 2020), tidak ada nafsu makan, mataku yang biasanya cerah jadi layu kayak bunga yang tidak disiram seminggu, dan di sini indra perasa sudah hilang.

Setelah hari keempat dan kelima sedikit membaik dan aku happy, merasa sudah sembuh, karena aku banyak kerjaan, jadi aku nge-job dan menyicil tugas kuliah meskipun masih selonjoran dan jalanku harus pelan-pelan kayak orang habis melahirkan wkwkwk, terus aku nge-drop lagi donk, dan di sini aku kehilangan indra penciuman setelah indra perasa (ini juga hilang), sekitar seminggu lebih, padahal kondisinya aku tidak flu (ini terjadi senin subuh, 28 September 2020, saat aku masak seblak untuk temanku, seblak hanya bisa kumakan 3-5 sendok). Ini pertamakalinya aku alamin! Aneh sekali! Di sini aku belum tahu kalau ini ternyata gejala korona (setelah teman perawatku yang bilang tanggal 4 Oktober 2020, aku pun auto searching, yang kutahu korona itu kalau batuk kering parah, sedang aku memang batuk tapi jarang, itu pun batuk karena menelan bulu Momo, itu sih menurutku hehehe. Aku juga sempat di-tensi-nya tanggal 3 Oktober 2020, katanya aku anemia dan hampir hipotensi).

Oh iya sebelumnya, aku 'kan tipe manusia yang sama sekali tidak bisa menelan obat, apalagi obat kimia, ya, minum obat harus dipuyer dengan dalih tenggorokanku kecil, aku juga tidak suka meminum obat bahan kimia, tapi saat sakit di hari-hari kedua dan ketiga, karena merasa obat herbal (rimpang tea : kunyit, jahe, madu) tidak  begitu mempan dan aku butuh reaksi cepat, aku memutuskan untuk meminum paracetamol, badanku yang kedinginan dan menggigil setia setiap saat, merasa Semarang yang biasanya kayak gurun sahara berubah menjadi winter di Korea, kipas angin pun di-museum-kan. Setelah minum paracetamol, panasku turun, aku juga minta dikerokin sama temanku yang dari Padang (gak nyambung sih, karena terapi kerok setahuku dari Jawa), akhirnya aku bisa tidur dengan tubuh hangat sampai hampir berkeringat, biasanya kedinginan dan rasa tak nyaman lainnya.

 Saat makan makanan kesukaan yang rasanya hambar dan tidak ada bau sedap sama sekali, aku hanya bisa membayangkan dan mengingat bahwa makanan ini rasanya enak sekali pas aku sehat, seperti aneka ikan bakar, sambal SS, dan banyak lainnya. Ingatan itu yang kupake untuk menyemangati biar aku tetap makan dan rasa was-was agar maagku tidak kambuh, jadi aku harus tetap makan, tepat waktu, apapun yang terjadi, sebab jika maag kambuh, ya wassalam, akan memperparah penyakit. Minggu-minggu ketiga, aku hepi banget karena penciumanku sedikit demi sedikit kembali, bahkan aku bisa mencium bau bensin yang jaraknya satu meter—meskipun samar-samar, aku juga sudah mulai bisa merasakan makanan enak sejak minggu kedua, tapi … ini tidak sering, ya, kadang enak, kadang tidak enak.

Aku juga berolahraga, olahraga kecil sebenarnya seperti berjemur, badminton, dan senam, ini pun durasinya sangat singkat, tapi setelah melakukan satu hal yang menurutku sangat-sangat ringan, aku membutuhkan waktu untuk hibernasi seperti tidur hingga 1-2 jam lamanya, sehabis bangun tidur pun aku selalu merasa sakit, sakit kepala, pegel, dan sering kedinginan meskipun aku tidak ngapa-ngapain. Naik motor ke Sukun, Segar Bencah, hingga ke kampus pun habis itu pasti auto tepar. Meskipun durasi sakitku sudah tiga minggu lebih, aku merasa baik-baik saja, tapi kalau beraktivitas di luar, tentunya membutuhkan waktu untuk memulihkan energi.

Btw, sebelumnya aku mau cerita kenapa aku bisa sakit, jadi aku tuh terlalu gila untuk menyelesaikan deadline laporanku, beberapa project yang aku handle, dan mengikuti lomba, kegiatan ini terjadi berulang-ulang, begadang sampai larut malam bahkan dini hari, tidur hanya 2 jam kalo tidak salah, tidak makan malam, tidak makan buah dan sayur, sering telat makan, dan banyak pelanggaran lainnya. Habis itu, temanku yang dari Padang (kondisinya agak sedikit sakit, dan punya riwayat sakit mirip kayak aku), entah ketularan dia atau memang dari aku sendiri atau dari luar, wallahu a’lam.

Tanggal 20 September kakakku beserta anak dan suaminya pulang dari Bengkulu, aku diminta ke rumahnya untuk mengambil oleh-oleh, karena aku sedang sibuk, aku memutuskan datang tanggal 22 September, tentu aku masih sehat di sana, lalu karena kurang tidur, hanya tidur 2 atau 3 jam, aku pun tertidur di atas sajadah sehabis salat duhur, aku lupa, kalau Tembalang dan Ungaran berbeda, entah … aku memang sering sakit kalau habis dari Ungaran, mungkin karena hawanya yang dingin kali, ya. Setelah terbangun, aku pun makan, makan siang yang telat dan makan makanan yang tidak fresh, aku lalu bermain bersama dua keponakan dan mandi air Ungaran yang dingin, setelah salat asar, aku pun pulang, pas aku keluar, hujan pun turun, dan cukup deras, tapi aku tetap menembusnya meskipun memakai jas hujan, tetap saja aku basah. Sesampai di wisma, mengganti pakaian, aku salat sehabis itu langsung tidur dan tidak makan malam. Lalu … esok subuhnya, aku sakit. Hari pertama. Seperti yang aku ceritakan. Cukup parah menurutku. Karena aku tiba-tiba jadi pendiam wkwkw dan tidak berhahahihi. Bicara saja aku rasanya lelah. Aku hanya tidur seharian. Soal makan, aku menitip ke teman wisma dan tentunya aku minta dibelikan jeruk untuk meningkatkan imunitas (btw, teman2 dan keluargaku care banget, aku dapat banyak makanan, minuman hingga obat dari mereka :) Di sini aku belum tahu, ya, sakit apa).

Kenapa aku tidak tes rapid atau swab? Aku aja baru tahu aku kemungkinan covid itu pas udah merasa better, itu tanggal 4 Oktober, pas teman perawatku main ke wisma untuk kedua kalinya. Semenjak aku tahu, aku langsung isolasi mandiri donk, selalu pake masker, cuci tangan, dan hand sanitizer kalau keluar rumah, dan memberitahu ke teman-teman wisma agar menjaga kesehatan dan jaga jarak. Yang paling aku takutkan itu bukan karena aku positif korona, tapi aku takut menularkan ke teman-temanku. Dan, aku selalu bertanya kesehatan mereka, untuk memastikan mereka baik-baik saja setelah kontak dengan aku. Alhamdulillah … mereka tetap sehat.

Di sini ada yang lucu, aku memaksakan diri untuk mandi karena temanku datang, bahkan ber-make-up hingga tampak cantik, benar-benar tidak terlihat seperti orang yang sakit wkwkwk, aku memang tidak mau tampak gembel di depan teman-temanku. Aku tidak bisa mandi tanpa air hangat hingga hari ini, airnya harus direbus dulu di panci. Selain itu, aku juga bisa diare hingga 7 kali, jadi dalam sehari bisa 3 sampai dengan 5 atau 7 kali paling banyak, kalau ditahan hanya 1x dalam sehari (maaf bahas hal ini, sekedar info aja, ya). Hingga hari ini, tanggal 14 Oktober 2020, meskipun aku merasa baik-baik saja, aku masih sering kedinginan, agak demam, sedikit sakit kepala, indra perasa belum terlalu kembali seperti biasa, dan penciumanku masih belum pulih, padahal indra penciumanku bisa dikatakan tajam.

Obat yang aku konsumsi saat sakit hingga hari ini : Paracetamol (kalo demam parah), habbatussauda setiap hari, susu kambing/dancow setiap hari, teh daun kelor, madu setiap hari, sari kurma, minyak jelantah eh … minyak zaitun wkwkw setiap hari, air al-matsurat (zikir pagi-petang) setiap hari, kurma, jeruk, apel, pir, bubur, nasi, lauk daging, sea food, telur, tahu, dan sayur.

Kemungkinan penyebab aku sakitnya lama karena aku kalau merasa sehat dan langsung ingin lakuin ini itu banyak sekali, berhenti meminum obat, dan seru-seruan, hingga aku tepar lagi, dan akhirnya kapok wkwkw, hingga hari ini, aku teratur makan dan meminum obat sampai benar-benar pulih 100% (kalau sekarang sih mungkin 85% hingga 90%, kondisinya naik turun soalnya).

Jadi, covid atau penyakit lainnya wallahu a’alam, ya, kalaupun ini covid, ya, kita bahas aja di sini. Covid itu tidak semengerikan seperti berita di tipi-tipi kok, jadi kalau penyandang covid itu masih muda, cantik (Eits! Abaikan part ini! Hihihi), tidak ada penyakit bawaan, bahagia, didukung ama lingkungan, dan mendapat obat dan gizi yang cukup, ya biasa saja sih, meskipun aku sakit selama ini, toh aku masih bisa melakukan banyak hal, dan tetap menerapkan protokol kesehatan insya Allah.  

Kalau sudah sehat nantinya ‘kan sudah kebal, ya, sama virus covid, kata ahli virus yang aku kepoin tempo hari. Lagian … sebagai seorang penulis dari dulu, aku selalu kepikiran, panasaran gitu … apa sih yang dirasakan pengidap covid. Kalau aku kena, apa aku bisa laluin? Dan kalau iya tentu ini akan keren banget jika bisa dituliskan karena ini pengalaman pribadi. Pengalaman penulis. Di situlah gilanya seorang penulis wkwkwk. Semangat! Salam sehat! Jangan lupa bahagia :)

Noted : harusnya tulisan ini lahir setelah aku sembuh 100%, tapi aku sudah tak tahan untuk menuliskannya!

Panik - Pandemik : Antara Hidup & Mati
 
 
No caption!

 

Comments